Dalam
hitungan mundur hari, dunia
pendidikan segera meninggalkan tahun
pelajaran 2012/ 2013 memasuki jenjang yang lebih baru. Sebagian pekerjaan pada
kelas akhir telah selesai, ditandai dengan kelulusan pada masing tingkatan
jenjang didik yang sudah diterimakan pada peserta didik. Sisa pekerjaan akhir,
menuntaskan siswa untuk jenjang tingkatan kelas yg lebih tinggi satu tingkat
sedang berlangsung. Lewat uji kompetensi kenaikkan kelas, berlanjut pada penerimaan
laporan pendidikan, maka ditutuplah tahun ajaran dimaksud dan siap memasuki
tahun ajaran baru 2013/ 2014.
Sudah diketahui umum, akan nampak wajah baru diawal tahun
pelajaran ini. Katanya- maaf istilah ini terpaksa disajikan, karena lingkungan
intern dunia pendidkan sendiri secara umum belum pernah tahu keadaan sebenarnya
kurikulum baru yang akan diperlakukan- wajah baru ini berupa seperangkat
kurikulum yang akan diterapkan pada awal ajaran yang hingga detik akhir ini
wajah sebenarnya kurikulum itu belum jelas benar. Apakah wajah kurikulum itu
berupa modivikasi yang telah ada, buatan baru, tata model jiplakan negara
tetangga dengan copy paste disana-sini atau hasil renungan dan pemikiran para
ahli pendidikan Indonesia.
CEPAT-KILAT
Memang pernah dilakukan, sosialisasi dan dengar pendapat
umum lewat berbagai seminar dan kajian dikalangan terbatas yang mengumumkan
rancangan kurikulum yang segera diterapkan pada tahun ini. Pro kontra silang
pendapat sempat berkumandang. Beberapa wilayah diberi kesempatan untuk
memberikan masukan agar terlihat sempurna dan layak pakai. Safari kurikulum pun
berlangsung. Dana pun digelontorkan. Sebentar kemudian hening tak nampak lagi
kehangatan awal, seolah hilang ditelan waktu. Sekonyong-konyong muncul, mulai
tahun ajaran baru, untuk kelas 1, 4, 7 dan 10 segera berlaku kurikulum baru.
Sebegitu mudahkah cara pandang dunia pendidikan kita
terhadap kurikulumnya?
Merujuk pada kejadian di atas, mungkin masih segar dalam
ingatan ketika keadaan dunia pendidikan di tahun 70 hingga 80-an. Dibeberapa
wilayah tanah air, termasuk Semarang, ada sekolah laboratorium milik IKIP saat
itu. Lembaga pendidikan di bawah naungan perguruan tinggi pencetak tenaga guru
punya lembaga pendidikan tingkat dasar hingga menengah telah menjalankan fungsi
utama dalam tugasnya. Pertama, sebagai tempat menggodok para calon guru
melakukan pembelajaran bagaimana mengajar yang baik menurut acuan dunia
pendidikan baku.
Dengan memiliki lembaga sekolah sendiri, IKIP mampu
membekali para mahasiswa calon guru dengan ketrampilan memadai untuk terjun
kelak sebagai guru. Proses tugas yang dilakukan bisa dikatakan sesuai skenario
pengajaran yang harus dilakukan. Kebutuhan dunia praktek kepengajaran bisa
dipenuhi bagi mahasiswa calon guru.
Beda
dengan sekarang, untuk membekali mahasiswa calon guru, lembaga kependidikan ini
harus pinjam sekolah reguler dengan tingkat birokrasi yang bisa-bisa
memperlambat kematangan ketrampilan seorang calon guru agar ahli dibidangnya. Apalagi
dibatasi waktu. Maka jangan heran, produk guru di-dua jaman itu tidak bisa sekualitas.
Kedua,
dalam range waktu tertentu digunakan sebagai uji coba penerapan rancangan
kurikulum yang sengaja diciptakan untuk membawa perubahan pendidikan.
Sepengetahuan penulis, merujuk pada catatan kecil semasa mengikuti studi
kependidikan dijamannya, disampaikan para dosen saat itu, bahwa kurikulum bisa
ditinjau dan direhab selama masa pakai 5-8 tahun. Dalam tengah perjalanan, kurikulum
dievaluasi. Yang kurang pas diperbaharui, yang sesuai disempurnakan. Jangan
heran, muncul kurikulum 1975 Yang Disempurnakan.
Bertambah matang, IKIP yang saat itu mengemban tugas
menyusun kurikulum, memanfaatkan sekolah laboratorium secara optimal. Tak ada
yang bisa mengusik ketika rancangan program kurikulum memasuki ujicoba di
sekolah lab. Ujicoba dan ujicoba dilakukan tanpa mampu diinterfensi pihak lain.
Dengan rentang waktu tertentu, rancangan kurikulum yang sudah diuji di sekolah
laboratorium IKIP diujicobakan lagi pada tahap berikut pada sekolah reguler
dengan takaran memadai. Bisa pada sekolah di tingkat pelosok, tingkat menengah
hingga sekolah center yang telah menunjukkan tingkat kualiatas sarana dan
prasarana lebih baik.
Oleh karena itu, sebelum layak pakai, rancangan kurikulum
itu harus sudah teruji petik dengan baik serta tingkat kualitas yang tidak
diragukan. Walaupun, dalam proses perjalanannya ada penyempurnaan dimana perlu.
Kurikulm sudah valid. Bandingkan dengan sekarang.
Isu hangat paling akhir, kurikulum baru ini akan
diterapkan pada tingkat kecamatan hanya untuk
2 (dua) unit sekolah tiap jenjang. Satu unit sekolah negeri dan satu
swasta dengan kualitas akreditasi-A. Kalau di tingkat Kabupaten/Kota ada 9
kecamatan, maka sekolah yang menerapkan kurikulum baru itu hanya boleh 18 unit
untuk tiap jenjang sekolah. Yang lain dikemanakan? Yang lain boleh mamakai kurikulum yang dibuat
sendiri oleh sekolah yang biasa disebut KTSP. Bagaimana kurikulum baru itu ?
Selama ini, pelaku pendidikan belum pernah dengar apalagi
lihat proses lahirnya kurikulum baru sebagaimana proses yang seharusnya terjadi
pada gambaran di atas. Entah dari mana kurikulum ini bersumber.
Setelah
ditelisik, kurikulum yang segera diterapkan tahun ini, diambil cibles dari KTSP yang diterapkan pada
sekolah-sekolah unggulan. Ada SD unggulan terhimpun dalam satu kelompok diambil
KTSP-nya diramu sedemikian rupa untuk diterapkan. Demikian pula untuk SMP,
SMU/K unggulannya. Sedang terjadi instan-nisasi
kurikulum terhadap dunia pendidikan Indonesia.
Kebijakan
kurikulum baru yang merujuk pada sekolah unggulan seharusnya tidak dilakukan.
Paling tidak ada 3 alasan sebagai dasar. (1) Diawali kebijakan Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo yang menghapus semua keberadaan sekolah unggulan yang
terjadi di wilayahnya. Sekolah unggulan lebih dilihat sebagai pembentukkan
kelas strata tertentu dari pada kepentingan dunia pendidikan.
Kebutuhan
biaya yang sangat tinggi yang tidak bisa dibebankan begitu saja pada Kas
Daerah/ Pusat terimbas pada peserta didik. Tidak sedikit keluhan yang muncul.
Anak pandai dari keluarga pas-pasan seharusnya masuk didalamnya, kenyataan terlempar
karena alasan ekonomi. Memungkinkan timbul kecemburuan. Ternyata ada yang tidak
pas disini. Kalau struktur lembaganya dibubarkan, mengapa hal yang gagal harus
dipakai dan jadi acuan?
(2)
Output hasil didik belum mampu menunjukkan yang seharusnya terjadi. Dalam
kenyataan, ditemukan output sekolah unggulan belum tentu melebihi reguler.
Antusiasme orang tua memaksakan anaknya masuk sekolah unggulan, selain pandang
kaca mata status sosial yang diharap, kelak mampu menembus jenjang pendidikan
yang lebih tinggi satu tingkat tanpa halangan berarti. Dengan sarana dan
prasara yang tersedia memadai, proses yang lebih baik, seharusnya output yang
terjadi labih dari baik.
Kenyataan,
dijumpai di lapangan, tidak semua peserta didik dalam proses unggulan
menunjukkan hasil unggul. Ada yang sangat memuaskan, yang cukup baik, ada pula
yang biasa-biasa saja. Muncul variatif hasil didik sebagaimana yang terjadi
pada sekolahn reguler.
(3)
Sekolah unggulan bukan lembaga yang seharusnya berubah sebagai tempat uji
kelayakan suatu kurikulum yang harus mengalami uji petik, melainkan lahir dari
sebuah ide yang melihat bertebarnya anak unggul yang perlu mendapat tampungan
dan layanan pendidikan sesuai kebutuhan, agar lahir bibit yang baik bagi masa
depan bangsa.
Kekurangtepatan
yang tersaji, adanya reduksi terhadap prose yang terjadi menganggap semua yang
terlihat adalah baik. Kenyataan tidak semuanya demikian.
Memang
diakui, proses pembelajaran yang terjadi lebih baik, disebabkan tersedia dan
tercukupinya sarana pendidikan lewat penghimpunan dana yang tidak kecil. Apa
yang dijumpai sekolah unggulan kadang tak ada pada reguler. Ini mungkin yang
membedakan. Selanjutnya, pembubaran yang
dilakukan di DKI berular panjang diikuti daedrah lain. Mungkin akhir tahun
ajaran ini memasuki babak akhir dan tamat riwayat sekolah unggulan.
MATANGKAN
DULU
Semangat birokrat dalam merestorasi kurikulum perlu
dibarengi stokeholder yang melingkarinya. Melibatkan guru, lembaga
kependidikan, ahli didaktik dan praktisi lain sebagai penyeimbang harus
disertakan.
Melihat kasus yang terjadi, kurikulum “dadakan” ini lebih
menunjukkan semangat birokrat yang berpegang pada pokoknya kurikulum baru harus sudah dilaksanakan. Kiranya lupa,
pengalaman penyusunan KTSP dianggap cukup sebagai bekal menentukan kurikulum
berikutnya adalah terlalu dini.
Sebelum disajikan,
kurikulum perlu dimatangkan dulu. Melibatkan lembaga kependidikan pencetak
calon guru tak bisa dihindarkan. Karena, lembaga kependidikan- UNNES Semarang,
UNJ Jogya, UPI Bandung- memiliki perangkat kompetensi yang tidak diragukan.
Sebaliknya, lembaga kependidikan perlu membuka arsip lama. Membangun kembali
jurusan yang tidur – program Kurikulum Didaktika- untuk menyiapkan tenaga ahli
nantinya. Sinergi yang terjadi, tentu membawa dampak terhadap kemajuan dunia
pendidikan kita.
Pada akhirnya, membangun pendidikan untuk menyiapkan
generasi unggul diperlu persiapan matang. Demikan halnya, menyusun kurikulum
bukan sekedar program kegiatan biasa, melainkan perlu melibatkan banyak pihak
yang ahli pada bidangnya agar menghasilkan rancangan kurikulum yang kualifait.
Kalau dirasa belum pas, mengapa harus dipaksakan?